Wednesday, December 13, 2006

The Election of Aceh’s Governoor as One of GAM Political Strategy

Machasin Nur Ubaidi
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UNDIP

Yesterday, for the first time, direct election of Governoor and Vice governor was held in Aceh. According to the quick count report was published by LSI [Indonesian Survey Organization], the independent candidate of GAM, Irwandi Yusuf and M. Nazari, exceeded another candidate absolutely. The quick count which was done by taken some examples of vote taking place [TPS] shows that Irwandi-Nazari got 38,57 % of votes. Humam-Hasbi got 17,04 %, Malik-Fuad got 13,96 % and its left for another couples. Although it’s not finish yet, but the quick count report can be quaranted for its correct and can be responsibled. Because it was tested within legislative and president elections in several years ago. The winning of GAM’s candidate give a chance for fighting its goals at political line. Even though GAM didn’t have guns, but its desire to be free is still will be fighted. Perhaps, that’s must be attentived by Indonesian government. [Mac]

Government Planning to Change The Marriage Law

Machasin Nur Ubaidi
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UNDIP

Polygamy, in Islam, although it’s not recommended, has glorious purposes. One of them is rising women prestige and solving social problems. There are social problems didn’t have good solution, such as dishonest, prostitution, hidden wife, etc. its can be solved by polygamy. The marriage law which gives more clauses to polygamy actors makes an impression that the polygamy is just about sex oriented. Such a man can has second wife if his first wife is infertile or she can’t satisfying her husband’s desire and so on. In fact, polygamy in Islam is not like that. It demand the actor makes righfull. Maybe, the marriage law must be change about can the husband makes righfull to his wifes, so there are no oppressed and injured [not about his wifes infertile and childless]. Those should have government attention. [Mac]

Saturday, December 9, 2006

”SI LUSI” ATAU ”SI LULA” ?

Machasin Nur Ubaidi

Mahasiswa Pasca Sarjana MIP UNDIP


Sudah enam bulan berjalan sejak semburan lumpur Lapindo meluluhlantakkan tatanan kehidupan di Sidoarjo. Kesembronoan industrial itu pada awalnya "hanya" menimbulkan kerepotan pada penduduk lokal, juga pada para pemilik pabrik yang ada di kawasan itu beserta para buruh mereka, tetapi kini mulai terjadi ”snowball effect”.

"Bola salju" yang mulai menggelinding di Sidoarjo itu telah menimbulkan "badai" di banyak tempat. Ini terjadi ketika pipa gas Pertamina yang berada di bawah tanggul penahan lumpur meledak. Dikabarkan, 13 orang tewas, 3 dinyatakan hilang, serta setidaknya 13 orang terluka.

Profit dan kepentingan umum

Banyak orang mempertentangkan profit dengan kepentingan umum (antara lain Robert Hinkley, 2002). Namun, dua hal itu hanya dapat dipertentangkan bila yang dianut ialah egoisme bisnis. Bisnis harus mendatangkan profit bagi pebisnis. Kebajikan (virtue) seorang pebisnis ialah mencetak profit maksimal. Begitulah kurang lebih kata ekonom Milton Friedman, ataupun kata seorang filsuf perempuan dan sekaligus pebisnis Amerika bernama Ayn Rand.

Hinkley melihat bahwa dalam rangka mengejar laba, perusahaan sering melakukan "eksternalisasi biaya". Hal itu terjadi bila, dalam operasi-operasinya, perusahaan menorehkan kerusakan lingkungan ataupun menimbulkan kerugian serius pada kepentingan publik. Agregat ongkos untuk pengobatan sakit paru-paru karena rokok atau karena polusi akibat emisi kendaraan bermotor sering dikutip sebagai contoh-contoh "eksternalisasi biaya". Neraca industri rokok dan industri kendaraan bermotor karena itu adalah neraca semu. Laba yang diperoleh ialah laba semu karena ada biaya yang ditanggung pihak-pihak lain. Dalam soal Lapindo, pihak lain itu ialah masyarakat sekitar dan pihak-pihak yang sudah diterjang "badai" efek bola salju.

Akan tetapi, pandangan egoisme bisnis itu tentu akan membuat sedih para pengusaha kita. Profit diperlukan untuk kelangsungan hidup perusahaan, untuk dapat melakukan inovasi produk atau jasa agar konsumen puas, untuk kesejahteraan pekerja, untuk memberi pertumbuhan nilai kepada para pemegang saham, untuk membayar pajak, untuk membuat program-program filantropik. Singkatnya, untuk menciptakan sebanyak-banyaknya kebaikan bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the greatest number).

Tumbal kesejahteraan umum

Dalam mengupayakan benefit maksimal bagi sebanyak mungkin pihak itu, ada pihak yang dirugikan. Dalam bahasa yang sederhana, sebuah keputusan tidak mungkin memuaskan semua pihak. Pihak yang tidak puas, yang dalam keputusan yang baik semestinya berjumlah sedikit, lazimnya disebut "pemangku kepentingan minoritas". Masalahnya adalah apakah kerugian atau biaya yang mesti dipikul pihak yang tidak puas itu?

Dalam kasus Lapindo, biaya yang dipikul oleh pemangku kepentingan minoritas ini tak dapat dikesampingkan. Biaya itu tak lagi berupa human rights (hak-hak manusia), melainkan sudah berupa basic human rights (hak-hak asasi manusia). Hak untuk memiliki (property rights) telah dirampas ketika penduduk harus meninggalkan rumah dan harta benda. Hak untuk memiliki kebebasan (liberty) mencari nafkah telah ditindas tatkala para buruh dan petani tidak dapat bekerja karena lahan terendam, pabrik tenggelam atau bangkrut terkena efek bola salju. Di atas segalanya, hak hidup (right to live) telah terampas dengan jatuhnya korban jiwa.

Upaya pengalihan tanggungjawab

Sekitar dua bulan lalu, diterbitkan sebuah buletin bernama Si Lusi. Nama tersebut mengingatkan kita kepada mantan anggota AB Three, tiga dara ayu yang energetik dan bersuara merdu itu. Memang, buletin tersebut dikemas secara cukup "ayu" dan isinya pun cukup "merdu". Gambar-gambarnya bagus dan tutur katanya sesuai dengan kaidah para munsyi. Apalagi, Si Lusi dikirimkan secara cuma-cuma. Istilah ”Si Lusi” bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai istilah biasa untuk menyebut bencana lumpur di Sidoarjo (Ontology). Namun jika kita kaji lebih lanjut, ada suatu makna dibalik istilah ”Lusi” tersebut (Epistemology). Ternyata tidak banyak yang tahu bahwa nama Si Lusi di situ menyembunyikan banyak borok. Nama buletin itu tak lain ialah singkatan dari "Si Lumpur Sidoarjo". Buletin itu dikeluarkan oleh Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo.

Lumpur panas telah diasosiasikan dengan citra Si Lusi. Akuntabilitas menjadi kian kusut dan kian sulit diusut. Dengan Si Lusi seakan-akan "Sidoarjo" yang harus bertanggung jawab, bukan Lapindo Brantas. Maka, ada usul supaya singkatannya diganti menjadi "Si Lula". Kependekan dari "Si Lumpur Lapindo".

The Polygamy and immoral video case

Machasin Nur Ubaidi
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UNDIP


Recently, polygamy became the great issue was discussing by Indonesian people. It was happen when the famous religion teacher, AA Gym, decided to married yet and take polygamy. And at the same time, an information about immoral video case doing by a member of parliament was published. The both cases make President to change rule about marriage. It was said that the rule change doing for limiting the polygamy cases. The marriage rule was exist make possible for man to marring with more than one wife, unless he got permission of his first wife. The only one religion that permits the polygamy is Islam. One of the aims is make it as solution for solving the social problem that exist. But, the polygamy is better than making dishonest like in the immoral video of a parliament member, isn’t it ?