Machasin Nur Ubaidi
Mahasiswa Pasca Sarjana MIP UNDIP
Sudah enam bulan berjalan sejak semburan lumpur Lapindo meluluhlantakkan tatanan kehidupan di Sidoarjo. Kesembronoan industrial itu pada awalnya "hanya" menimbulkan kerepotan pada penduduk lokal, juga pada para pemilik pabrik yang ada di kawasan itu beserta para buruh mereka, tetapi kini mulai terjadi ”snowball effect”.
"Bola salju" yang mulai menggelinding di Sidoarjo itu telah menimbulkan "badai" di banyak tempat. Ini terjadi ketika pipa gas Pertamina yang berada di bawah tanggul penahan lumpur meledak. Dikabarkan, 13 orang tewas, 3 dinyatakan hilang, serta setidaknya 13 orang terluka.
Profit dan kepentingan umum
Banyak orang mempertentangkan profit dengan kepentingan umum (antara lain Robert Hinkley, 2002). Namun, dua hal itu hanya dapat dipertentangkan bila yang dianut ialah egoisme bisnis. Bisnis harus mendatangkan profit bagi pebisnis. Kebajikan (virtue) seorang pebisnis ialah mencetak profit maksimal. Begitulah kurang lebih kata ekonom Milton Friedman, ataupun kata seorang filsuf perempuan dan sekaligus pebisnis Amerika bernama Ayn Rand.
Hinkley melihat bahwa dalam rangka mengejar laba, perusahaan sering melakukan "eksternalisasi biaya". Hal itu terjadi bila, dalam operasi-operasinya, perusahaan menorehkan kerusakan lingkungan ataupun menimbulkan kerugian serius pada kepentingan publik. Agregat ongkos untuk pengobatan sakit paru-paru karena rokok atau karena polusi akibat emisi kendaraan bermotor sering dikutip sebagai contoh-contoh "eksternalisasi biaya". Neraca industri rokok dan industri kendaraan bermotor karena itu adalah neraca semu. Laba yang diperoleh ialah laba semu karena ada biaya yang ditanggung pihak-pihak lain. Dalam soal Lapindo, pihak lain itu ialah masyarakat sekitar dan pihak-pihak yang sudah diterjang "badai" efek bola salju.
Akan tetapi, pandangan egoisme bisnis itu tentu akan membuat sedih para pengusaha kita. Profit diperlukan untuk kelangsungan hidup perusahaan, untuk dapat melakukan inovasi produk atau jasa agar konsumen puas, untuk kesejahteraan pekerja, untuk memberi pertumbuhan nilai kepada para pemegang saham, untuk membayar pajak, untuk membuat program-program filantropik. Singkatnya, untuk menciptakan sebanyak-banyaknya kebaikan bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the greatest number).
Tumbal kesejahteraan umum
Dalam mengupayakan benefit maksimal bagi sebanyak mungkin pihak itu, ada pihak yang dirugikan. Dalam bahasa yang sederhana, sebuah keputusan tidak mungkin memuaskan semua pihak. Pihak yang tidak puas, yang dalam keputusan yang baik semestinya berjumlah sedikit, lazimnya disebut "pemangku kepentingan minoritas". Masalahnya adalah apakah kerugian atau biaya yang mesti dipikul pihak yang tidak puas itu?
Dalam kasus Lapindo, biaya yang dipikul oleh pemangku kepentingan minoritas ini tak dapat dikesampingkan. Biaya itu tak lagi berupa human rights (hak-hak manusia), melainkan sudah berupa basic human rights (hak-hak asasi manusia). Hak untuk memiliki (property rights) telah dirampas ketika penduduk harus meninggalkan rumah dan harta benda. Hak untuk memiliki kebebasan (liberty) mencari nafkah telah ditindas tatkala para buruh dan petani tidak dapat bekerja karena lahan terendam, pabrik tenggelam atau bangkrut terkena efek bola salju. Di atas segalanya, hak hidup (right to live) telah terampas dengan jatuhnya korban jiwa.
Upaya pengalihan tanggungjawab
Sekitar dua bulan lalu, diterbitkan sebuah buletin bernama Si Lusi. Nama tersebut mengingatkan kita kepada mantan anggota AB Three, tiga dara ayu yang energetik dan bersuara merdu itu. Memang, buletin tersebut dikemas secara cukup "ayu" dan isinya pun cukup "merdu". Gambar-gambarnya bagus dan tutur katanya sesuai dengan kaidah para munsyi. Apalagi, Si Lusi dikirimkan secara cuma-cuma. Istilah ”Si Lusi” bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai istilah biasa untuk menyebut bencana lumpur di Sidoarjo (Ontology). Namun jika kita kaji lebih lanjut, ada suatu makna dibalik istilah ”Lusi” tersebut (Epistemology). Ternyata tidak banyak yang tahu bahwa nama Si Lusi di situ menyembunyikan banyak borok. Nama buletin itu tak lain ialah singkatan dari "Si Lumpur Sidoarjo". Buletin itu dikeluarkan oleh Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo.
Lumpur panas telah diasosiasikan dengan citra Si Lusi. Akuntabilitas menjadi kian kusut dan kian sulit diusut. Dengan Si Lusi seakan-akan "Sidoarjo" yang harus bertanggung jawab, bukan Lapindo Brantas. Maka, ada usul supaya singkatannya diganti menjadi "Si Lula". Kependekan dari "Si Lumpur Lapindo".